By Dr. H. Khairuddin, S.Ag., M.A.
Ibadah haji adalah puncak ibadah seorang Muslim. Ia bukan sekadar rukun Islam kelima, tetapi juga perjalanan spiritual yang dapat melahirkan pribadi baru—lebih jujur, lebih bersih, lebih peduli, dan lebih bertanggung jawab. Bila transformasi ini terjadi secara kolektif, maka haji berpotensi menjadi titik tolak perubahan moral bangsa.
Potensi Jamaah Haji Indonesia Tahun 2025
Pada musim haji tahun 2025, Indonesia mendapat kuota sebanyak 221.000 jamaah, terdiri dari 203.320 jamaah reguler dan 17.680 jamaah haji khusus. Mereka didampingi oleh 4.420 petugas. Mari kita lakukan sebuah simulasi sederhana. Jika hanya 10% dari petugas (sekitar 442 orang) dan 2% dari jamaah non-pejabat (sekitar 4.420 orang) mendapatkan haji yang mabrur, maka kita akan memiliki sekitar 4.868 duta moral baru yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia.
Itu baru 2 persen. Lalu bagaimana jika 50 persen, atau bahkan 100 persen jamaah dan petugas yang berhaji benar-benar menjadi mabrur? Tentu, kita akan menyaksikan sebuah perubahan besar dalam wajah moral bangsa. Haji tidak lagi berhenti sebagai ritual tahunan, melainkan menjadi gerakan nasional yang menyentuh hati dan mengubah karakter individu serta sistem secara menyeluruh.
Dampak Transformasional Haji pada Birokrasi
Dalam rombongan jamaah haji, tidak sedikit yang berasal dari kalangan pejabat strategis dan tokoh masyarakat. Andai saja hanya 0,2% dari jamaah per tahun adalah pejabat yang mengalami perubahan moral secara mendalam, maka dalam lima tahun, bangsa ini akan memiliki ratusan pemimpin yang tidak hanya kompeten, tetapi juga amanah.
Hal ini sejalan dengan sabda Nabi Muhammad SAW:
> “Siapa yang berhaji lalu tidak berkata keji dan tidak berbuat fasik, maka ia akan kembali seperti hari dilahirkan oleh ibunya.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Pemimpin yang kembali dari haji dengan hati yang jernih dan niat yang suci akan menjadi pelopor etika di dalam birokrasi. Mereka akan tampil sebagai penolak korupsi, pengayom rakyat, serta pemegang prinsip keadilan. Nilai-nilai haji mabrur seperti kejujuran, keikhlasan, dan kesederhanaan merupakan pilar utama dari reformasi birokrasi yang sejati.
Haji: Lebih dari Perjalanan Fisik
Allah SWT berfirman: “Dan bersiaplah kamu (untuk pergi haji) dengan bekal, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa.” (QS. Al-Baqarah: 197)
Ayat ini menunjukkan bahwa inti dari ibadah haji adalah pembentukan karakter dan kesadaran spiritual. Takwa bukan hanya dibawa selama di Tanah Suci, tetapi justru harus menjadi bekal utama ketika kembali ke tanah air. Seorang guru yang pulang dari haji, misalnya, dapat mengajar dengan lebih ikhlas dan penuh cinta. Seorang kepala daerah yang baru menunaikan haji bisa memulai babak baru pelayanan publik yang bebas suap dan lebih berpihak pada rakyat.
Jika transformasi ini terjadi secara berulang setiap tahun, maka kita sedang menyemai ladang kebaikan yang luas dan dalam jangka panjang akan membangun fondasi moral bangsa yang kokoh.
Moralitas sebagai Pondasi Kebangsaan
Dalam Etika Publik, Haryatmoko menegaskan bahwa krisis yang dialami bangsa Indonesia sejatinya adalah krisis moral. Maka, perubahan tidak akan datang hanya melalui revisi undang-undang atau pergantian pejabat, tetapi melalui perbaikan karakter dan integritas setiap individu. Haji yang mabrur bisa menjadi sumber moralitas baru yang sangat dibutuhkan dalam tata kelola pemerintahan.
Buku Belajar Menjadi Haji Mabrur yang diterbitkan Deepublish, menggarisbawahi pentingnya haji sebagai momen perubahan diri yang menyeluruh. Bila nilai-nilai haji mabrur diinternalisasi oleh para pendidik, petugas, tokoh agama, hingga pejabat negara, maka haji akan berfungsi sebagai “pengungkit moral kolektif” bagi bangsa ini.
Reformasi struktural yang digagas pemerintah pun tidak akan efektif tanpa reformasi moral dan spiritual. Dalam Buku Reformasi Birokrasi Tingkat Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah, ditegaskan bahwa perubahan sistem harus dibarengi dengan perubahan manusia di dalamnya. Haji mabrur adalah salah satu energi perubahan itu.
Kekuatan Jiwa yang Dibakar oleh Kebenaran
Imam Al-Ghazali pernah menyatakan “Jangan pernah meremehkan kekuatan dari satu jiwa yang telah dibakar oleh kebenaran.”
Api kebenaran yang menyala dalam diri seorang pemimpin akan memancarkan cahaya bagi rakyat. Buya Hamka juga mengatakan “Orang besar adalah mereka yang mampu menjadi bersih di tengah kekeruhan.”
Jamaah haji yang mabrur adalah contoh nyata dari pribadi besar seperti itu. Mereka adalah lentera di tengah kegelapan. Dari Arafah, mereka belajar ketundukan total kepada Allah. Dari Muzdalifah, mereka mengumpulkan kekuatan batin. Dari Mina, mereka belajar melawan hawa nafsu. Jika nilai-nilai ini dibawa pulang dan ditanam dalam kehidupan sehari-hari, maka mereka akan menjadi pelopor peradaban.
Penutup
Indonesia bukan kekurangan regulasi, tetapi kekurangan pribadi-pribadi yang jujur dan ikhlas. Sebagaimana firman Allah “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’d: 11)
Mari kita doakan seluruh jamaah haji Indonesia tahun 2025, baik petugas, pejabat, maupun rakyat biasa, semoga mereka pulang dalam keadaan mabrur. Dan dari merekalah, semoga lahir bangsa yang lebih bersih, adil, dan sejahtera. Aamiin. (Red)