KBBAceh.News | Tapaktuan – Pagi adalah waktu yang suci bagi seorang pegawai. Di sanalah ujian pertama tanggung jawab dimulai — bukan hanya tentang datang ke kantor, tetapi tentang bagaimana seseorang memaknai pekerjaannya sebagai bagian dari ibadah. Dalam pandangan peraturan kepegawaian, terutama PP Nomor 94 Tahun 2021 Pasal 4 huruf f, ditegaskan bahwa setiap Pegawai Negeri Sipil wajib masuk kerja dan menaati ketentuan jam kerja.
Sekilas, peraturan itu tampak sederhana — hanya soal waktu datang dan pulang. Namun bila ditelisik lebih dalam, sesungguhnya aturan itu mengandung pesan moral dan spiritual yang amat besar. Ia menguji kejujuran, tanggung jawab, dan niat seorang pegawai dalam bekerja.
Dalam pandangan Islam, bekerja bukan sekadar mencari nafkah, melainkan menjalankan amanah dan pengabdian kepada Allah SWT. Seorang Muslim yang bekerja di instansi pemerintah hakikatnya sedang memegang kepercayaan dari masyarakat dan negara. Ia diberi waktu, gaji, dan fasilitas untuk digunakan sepenuhnya demi pelayanan publik. Maka ketika seorang pegawai datang tepat waktu dan bekerja dengan sungguh-sungguh, ia sedang menunaikan amanah itu dengan penuh kehormatan.
Allah SWT berfirman dalam Surah Al-Mu’minun ayat 8: “Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat yang dipikulnya dan janjinya.”
Ayat ini menjadi cermin bagi siapa pun yang menanggung tanggung jawab publik. Amanah itu tidak hanya berupa dokumen dan jabatan, tetapi juga waktu kerja yang dibayar. Maka, menyia-nyiakan waktu kerja sama saja dengan menyia-nyiakan amanah.
Rasulullah SAW juga bersabda:
“Sesungguhnya Allah mencintai jika salah seorang di antara kalian melakukan suatu pekerjaan, ia melakukannya dengan itqan (sempurna dan bersungguh-sungguh).”
(HR. Al-Baihaqi)
Hadis ini menegaskan bahwa kesungguhan dan kedisiplinan dalam bekerja adalah bentuk ibadah yang dicintai Allah. Maka, menaati jam kerja bukan sekadar mengikuti aturan kantor, tetapi menjalankan perintah agama dalam bentuk yang sangat praktis.
Setiap pegawai yang menunda-nunda datang, sering izin tanpa alasan, atau meninggalkan tempat kerja sebelum waktunya, sebetulnya bukan hanya melanggar disiplin administratif — tetapi juga mengkhianati amanah moral dan spiritual yang melekat pada profesinya. Sebab waktu kerja yang telah dibayar negara sejatinya adalah waktu pelayanan untuk umat.
Dalam kacamata Islam, kedisiplinan adalah bagian dari keimanan. Orang yang beriman tidak mungkin mempermainkan waktu dan tanggung jawabnya, sebab ia sadar bahwa setiap detik dari jam kerja akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah. Firman-Nya dalam Surah Al-Isra’ ayat 36 menjadi pengingat yang kuat: “Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggungjawaban.”
Maka seorang pegawai yang datang tepat waktu, bekerja dengan jujur, dan pulang sesuai aturan — sejatinya sedang menjaga dirinya dari hisab yang berat kelak. Ia bekerja bukan semata karena absensi elektronik, melainkan karena pengawasan ilahi yang tidak pernah padam.
Kedisiplinan kerja juga merupakan bentuk taat kepada ulil amri, sebagaimana diperintahkan dalam Surah An-Nisa ayat 59: “Taatilah Allah, taatilah Rasul, dan ulil amri di antara kamu.”
Ketika seorang atasan atau peraturan negara menetapkan jam kerja, itu bukan untuk membatasi kebebasan pegawai, melainkan untuk menjaga keteraturan, keadilan, dan efektivitas pelayanan. Dengan menaatinya, seorang pegawai bukan hanya tunduk pada peraturan manusia, tapi juga menegakkan perintah Allah melalui ketaatan terhadap pemimpin yang sah.
Jika semua pegawai datang tepat waktu, bekerja dengan sungguh-sungguh, dan pulang setelah tugasnya selesai, maka kantor akan menjadi ladang pahala. Setiap tanda tangan, setiap berkas yang selesai, setiap masyarakat yang terlayani dengan baik — semuanya bernilai ibadah. Karena di balik itu ada niat ikhlas untuk bekerja sebagai jalan pengabdian kepada Allah SWT.
Sebaliknya, jika jam kerja diabaikan, waktu dihabiskan untuk hal-hal yang tidak produktif, atau pelayanan ditunda karena kelalaian, maka bukan hanya produktivitas yang hilang, tetapi juga keberkahan kerja ikut sirna. Sebab bekerja tanpa disiplin adalah bentuk kezaliman kecil yang lama-lama menjadi kebiasaan besar.
Oleh karena itu, menaati jam kerja bukan hanya urusan dunia, tetapi tanggung jawab akhirat. Ia mengajarkan kejujuran dalam waktu, ketulusan dalam amal, dan kesungguhan dalam mengemban amanah.
Maka, ketika seorang pegawai menatap jam di pagi hari dan bergegas ke kantor dengan niat yang lurus, sesungguhnya ia sedang berkata dalam hati:
“Ya Allah, hari ini aku bekerja bukan hanya untuk memenuhi kewajiban, tetapi untuk menunaikan amanah-Mu. Jadikan waktuku bernilai ibadah, langkahku bernilai pahala, dan tugasku menjadi jalan keberkahan bagi negeri ini.”
Dengan kesadaran seperti ini, maka masuk kerja dan menaati jam kerja tidak lagi sekadar rutinitas, melainkan bagian dari ibadah yang bernilai tinggi di sisi Allah SWT.
(By Dr. Khairuddin, S.Ag,. MA)