Tapaktuan, KBBAceh.news – Langit sore itu mendung, seakan ikut menyambut kepulanganku setelah sekian lama tak menjejakkan kaki di tanah kelahiran. Rintik hujan mulai turun perlahan, membasahi jalanan desa yang masih setia dengan keheningannya. Udara begitu segar, harum tanah basah bercampur dengan aroma dedaunan yang tertimpa air hujan. Dari kejauhan, gunung yang dulu sering kupandangi saat kecil masih berdiri kokoh, hijau dan rimbun, penuh dengan pepohonan yang seakan tak pernah berubah.
Langkahku terhenti di depan rumah tua yang telah lama kutinggalkan. Dindingnya mulai kusam, catnya pudar dimakan waktu. Namun, rumah ini tetap menjadi saksi dari ribuan kenangan—tawa kecil di serambi, aroma masakan ibu yang selalu menggoda, dan kehangatan keluarga yang dulu begitu erat. Meski sederhana, rumah ini tetaplah tempat paling nyaman di dunia.
Saat aku menyusuri jalanan desa, suara tawa dan sapaan hangat dari para tetangga menyambutku. Masyarakat di sini tak pernah berubah—akrab, penuh senyum, dan selalu siap membantu. Setiap rumah terbuka bagi siapa saja yang singgah, obrolan ringan di warung kopi mengalir tanpa henti, menghangatkan suasana meskipun hujan masih turun membasahi bumi.
Aku melangkah menuju sungai yang terletak tak jauh dari rumah. Airnya jernih, mengalir deras di antara bebatuan. Kumasukkan tanganku, merasakan kesejukan yang begitu menyegarkan. Sungai ini dulu menjadi tempat bermain favorit saat kecil—berenang bersama teman-teman, melompat dari batu besar, atau sekadar duduk di tepinya sambil merendam kaki. Suasana itu masih sama, hanya kami yang telah bertambah usia.
Di malam hari, suara azan berkumandang dari masjid tua di ujung jalan, menggema ke seluruh penjuru desa. Aku duduk di serambi rumah, mendengarkan tadarus Al-Qur’an yang bergema dari pengeras suara masjid. Suara itu mengalun syahdu, mengingatkanku pada masa kecil ketika aku dan teman-teman berlomba-lomba menyelesaikan bacaan sebelum Idulfitri tiba. Ramadhan hampir pergi, dan suasana ini membuatku semakin rindu pada kampung halaman yang tercinta.
Tahun ini, aku mudik lebih cepat dari biasanya. Ada banyak yang ingin kulakukan—membersihkan rumah, mengecat kembali dinding yang kusam, menata halaman agar lebih indah, dan tentu saja menghabiskan lebih banyak waktu dengan keluarga dan masyarakat sekitar. Aku ingin rumah ini kembali nyaman, siap menyambut Hari Raya Idulfitri yang sebentar lagi tiba. Di bawah langit yang masih berhiaskan gerimis, aku tersenyum. Aku tahu, saatnya akan tiba di mana aku harus kembali meninggalkan tempat ini. Tapi untuk saat ini, biarkan aku tenggelam dalam rindu yang akhirnya terobati. Kampung halaman, aku pulang.
(Penulis : Dr. Khairuddin MA)