Makmeugang dan Perjuangan

Makmeugang dan Perjuangan
  Akurat Mengabarkan
Penulis
|
Editor
Bagikan:

By Dr. Khairuddin MA

KBBAceh.News | Tapaktuan – Makmeugang selalu datang dengan hiruk-pikuknya. Dua hari sebelum hari raya, aroma daging yang direbus di tungku-tungku rumah menyatu dengan semangat silaturahmi dan suka cita. Di Aceh, Makmeugang bukan sekadar tradisi menyantap daging. Ia adalah lambang harga diri, simbol kebersamaan, dan tolok ukur kehadiran seseorang dalam arus kebahagiaan kolektif.

Tapi tidak semua orang menari di atas riang yang sama.

Hari itu, saya tidak pulang ke kampung. Ibu tercinta sudah memberi izin tiga hari sebelum Idul Adha. Saya memilih tetap tinggal di tempat tugas. Sementara di luar, jalanan riuh oleh orang-orang yang membawa pulang kantong-kantong plastik berisi daging segar. Suasana seakan berkata, “Siapa yang tak membeli daging, akan kehilangan wajahnya di meja makan keluarga.”

Di tengah ramai itu, saya didatangi seorang perempuan paruh baya. Wajahnya menyimpan kelelahan yang tak diucap. Di tangannya, sebungkus kecil udang, disodorkan dengan harap. “Belilah, Nak…” katanya pelan.

Saya tidak banyak tanya. Saya beli udangnya. Tapi pikiran saya mengembara. Jangan-jangan ia bukan sekadar menjual udang. Ia sedang membeli harapan untuk bisa membawa pulang sepotong daging bagi anak-anaknya. Jangan-jangan udang itu adalah sisa terakhir dari yang bisa ia tawarkan kepada dunia, agar anak-anaknya tidak hanya mencium bau daging dari rumah tetangga.

Dunia ini memang kadang tak adil, tetapi yang lebih tak adil adalah ketika kita membiarkan ketidakadilan itu mengeras menjadi kebiasaan.

Orang-orang miskin seperti perempuan itu bukan sekadar menghadapi kemiskinan materi, tetapi juga tekanan sosial: rasa malu jika tak mampu menyajikan daging di hari yang seharusnya penuh suka cita. Bagi kita, daging mungkin hanya soal menu. Tapi bagi mereka, ia bisa jadi pertaruhan harga diri, simbol kemuliaan, dan penawar luka hidup.

Saya teringat satu analogi:

Jika hidup adalah sebuah perahu di laut luas bernama dunia, maka orang-orang miskin adalah yang mendayung dengan tangan kosong melawan ombak yang sama. Mereka tahu tak punya layar, tapi tetap mengayuh. Mereka sadar tak punya kompas, tapi tetap mencoba mencari arah. Dan kadang, satu-satunya bekal mereka hanya harapan — dan udang kecil yang disodorkan dengan gemetar itu.

Maka betapa berdosanya kita, jika melihat perjuangan seperti itu hanya sebagai transaksi, bukan sebagai tangisan sunyi yang minta ditemani.

Makmeugang ini menyimpan banyak cerita yang tak sempat tertulis di koran atau status media sosial. Tapi ia hidup di tatapan seorang ibu yang memikul harap. Ia nyata dalam sepotong daging yang diperjuangkan dengan tetes peluh terakhir.

Semoga kita tidak terlalu sibuk memilih potongan daging terbaik, hingga lupa bahwa di luar sana ada orang yang bahkan tak punya wajan untuk menumis harapan. (Red)

Bagikan:

Tinggalkan Komentar