By Dr. Khairuddin MA
KBBAceh.News | Tapaktuan – Tidak semua orang miskin adalah orang bodoh, dan tidak semua orang berilmu adalah orang bijak. Tidak semua orang berpangkat tinggi menjadi pemimpin sejati, dan tidak semua yang kaya adalah dermawan. Dunia memiliki panggung, dan di panggung ini, tidak sedikit yang tertipu oleh peran yang dimainkan.
Ada empat tokoh yang diabadikan sejarah sebagai simbol dari penipuan diri mereka memiliki apa yang diidamkan banyak manusia, tetapi justru tertipu oleh apa yang mereka miliki. Mereka tenggelam dalam ilusi kejayaan, hingga tak sadar sedang mengukir kehancuran.
Pertma : Iblis Tertipu oleh Ilmu
Iblis tahu banyak. Bahkan, sebelum Adam diciptakan, ia sudah beribadah ribuan tahun, sujud dan ruku’ di berbagai lapisan langit. Ia mengajar, ia menjadi rujukan para malaikat dalam memahami hakikat. Tapi satu penyakit merusak semuanya: kesombongan intelektual.
Ketika diperintah sujud kepada Adam, ilmunya menjadi alasan untuk membangkang. “Aku lebih baik darinya,” katanya. Ia mengukur derajat manusia dari asal usul: api lebih tinggi dari tanah. Inilah ironi: ilmu yang seharusnya membawanya tunduk, justru menjadi alat pembenaran untuk melawan perintah Tuhan.
Hari ini, tak sedikit manusia yang mewarisi perangai iblis. Merasa paling tahu, paling benar, paling paham, lalu merendahkan sesama yang tak selevel dalam akademik, gelar, atau logika. Ilmu menjadi senjata arogansi, bukan jalan kerendahan hati. Padahal, ilmu tanpa adab hanyalah api dalam sekam—menyala, tapi membakar diri sendiri.
Kedua: Fir‘aun tertipu oleh Jabatan dan Kekuasaan
Fir‘aun berdiri di puncak kekuasaan. Ia bukan hanya raja, tapi mengangkat dirinya sebagai tuhan. Ia berkata: “Aku adalah Tuhanmu yang paling tinggi.” Maka, segala yang ia miliki berubah menjadi alat penindasan. Kekuasaan menjadi candu yang membutakan mata hati.
Kekuasaan Fir‘aun membuatnya merasa tak perlu dikritik, tak bisa disalahkan. Ia membungkam lawan, memanipulasi rakyat, dan menghukum siapa pun yang berbeda. Ia menciptakan sistem agar hanya dirinya yang dipuja. Tapi kekuasaan tanpa kontrol moral adalah jalan tol menuju kehancuran.
Hari ini, Fir‘aun tidak hanya tinggal dalam sejarah. Ia bersemayam dalam diri siapa pun yang memegang jabatan dan merasa suci dari kesalahan, yang alergi nasihat, dan merasa dunia tak akan berjalan tanpa dirinya. Jabatan hanyalah amanah, bukan mahkota. Ia bukan lambang kemuliaan, tapi ladang ujian.
Ketiga : Qarun Tertipu oleh Harta dan Kekayaan
Qarun punya segalanya. Kunci-kunci gudangnya saja tak sanggup dipikul satu kelompok kuat. Tapi ia lupa: harta yang tidak ditundukkan oleh iman akan menundukkan pemiliknya. Ia sombong, membusungkan dada, dan berkata: “Aku diberi ini semua karena ilmu yang ada padaku.”
Ia merasa sukses karena kehebatannya sendiri. Ia lupa bahwa rezeki bukan sekadar hasil kerja, tapi juga rahmat dan takdir Tuhan. Qarun tenggelam bukan karena gempa atau banjir, tapi oleh keserakahannya sendiri. Ia membangun istana dari ego, lalu runtuh bersama puing-puing angan yang tak tahu diri.
Kini, banyak orang menjadi Qarun baru. Rumahnya megah, mobilnya berderet, rekeningnya gemuk, tapi hatinya kerdil. Tak ada empati, tak ada kepedulian. Ia tertipu oleh angka-angka yang bisa habis dalam sekejap. Harta yang tak disedekahkan akan menjadi beban yang memperberat langkah di akhirat.
Keempat : Abu Lahab tertipu oleh Nasab dan Ketokohan
Abu Lahab bukan orang asing. Ia adalah paman Nabi. Ia bagian dari keluarga Bani Hasyim yang terhormat. Tapi kemuliaan silsilah tak menjamin kejernihan hati. Ia memilih menjadi musuh dakwah, bukan karena tak tahu, tapi karena harga diri yang keliru.
Ia merasa punya posisi, pengaruh, dan nama besar. Tapi semua itu tidak berguna di hadapan kebenaran yang ia tolak. “Binasalah kedua tangan Abu Lahab,” kata Al-Qur’an. Nasabnya tak menolong, ketokohannya tak menyelamatkan.
Hari ini, ada orang-orang yang merasa tak perlu berbuat baik karena nama orang tuanya harum. Ada yang merasa mulia karena keturunan tokoh agama, pejabat, atau orang kaya. Padahal, nasab bukan jaminan surga. Keturunan orang baik tidak otomatis menjadikan kita baik.
Empat tokoh ini bukan sekadar kisah, tapi cermin untuk setiap diri. Ilmu, jabatan, harta, dan nasab semuanya bisa menjadi berkah, tapi juga bisa menjadi racun jika tak diiringi dengan kesadaran spiritual.
Tertipu bukan hanya saat kita kehilangan, tapi saat kita merasa memiliki sesuatu hingga lupa siapa pemberinya. Jangan biarkan ilmu membutakan hati. Jangan biarkan jabatan mematikan nurani. Jangan biarkan harta membungkam empati. Jangan biarkan nasab meninabobokan amal.
Sebab, kelak yang ditimbang bukan apa yang kita punya, tapi apa yang kita perbuat dengan apa yang kita punya. (Red)