KBBAceh.News | Banda Aceh – Setiap subuh, ketika sebagian manusia masih bergelut dengan mimpi, ada sepasang langkah kecil yang lebih dulu menapaki jalan kehidupan. Sepasang suami istri, berjalan berdampingan menuju pinggiran laut — bukan untuk menikmati indahnya matahari terbit, tapi untuk menjemput rezeki yang terselip di sela-sela pasir, di balik batu-batu kecil tempat siput laut bersembunyi.
Dengan tangan yang sederhana namun penuh harapan, mereka menunduk, menyapu, mencari, lalu mengumpulkan — bukan hanya siput laut, tapi juga keyakinan bahwa Allah tidak pernah menutup pintu rezeki bagi hamba-Nya yang berusaha.
Setiap langkah mereka seperti doa yang diucapkan tanpa suara. Angin laut menjadi saksi, bagaimana cinta suami istri itu bukan hanya diungkapkan lewat kata, tapi diwujudkan dalam kerja sama, kesetiaan, dan perjuangan. Mereka saling bercerita, sambil sesekali tertawa kecil — seolah lelah mereka larut bersama ombak yang memukul lembut kaki.
Namun, ketika sore menjelang, wajah yang sama itu datang kembali — kali ini sang istri dengan bakul kecil di tangannya, menawarkan udang, kepiting, dan hasil laut lainnya kepada masyarakat sekitar. Ada rasa kasihan, ada simpati, dan terkadang ada pembelian yang bukan karena kebutuhan, tapi karena nurani yang tergerak oleh perjuangan.
Aku dan istriku pernah berbisik, “Bagaimana jika suatu hari mereka sakit? Bagaimana dengan anak-anak mereka?”
Tapi mereka tampak tenang, seolah hidup adalah perjalanan yang cukup dinikmati selangkah demi selangkah.
“Semoga apa yang kita lihat sama dengan apa yang mereka rasakan ya, Abi?” kata istriku lirih. Aku mengangguk — karena di balik kesederhanaan itu, ada kebahagiaan yang tak bisa dijelaskan oleh logika orang yang selalu menghitung untung rugi.
Perjuangan untuk keluarga memang tidak selalu diukur dari hasil yang besar. Kadang ia hanya tampak dari keringat di dahi, dari tangan yang kasar, dari langkah yang tak pernah menyerah meski hari terasa berat. Mereka mungkin tak punya banyak harta, tapi mereka kaya dengan rasa syukur.
Laut bagi mereka bukan sekadar tempat mencari rezeki, tapi madrasah kehidupan. Di sana mereka belajar arti sabar, ikhlas, dan tawakal. Setiap siput yang mereka temukan adalah ayat kecil tentang janji Allah:
“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi, melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya.” (QS. Hud: 6)
Mereka hidup bukan dalam kelimpahan, tapi dalam kepastian bahwa selama tangan masih bisa digerakkan, rezeki akan dijemput dengan hormat.
Maka, ketika kita merasa lelah dalam perjuangan hidup, lihatlah mereka — sepasang tapak di pasir subuh itu.
Mereka bukan hanya mencari rezeki, tetapi menjaga kehormatan, menjemput barakah, dan menuliskan kisah bahwa kebahagiaan sejati bukan milik mereka yang berpunya, tapi milik mereka yang bersyukur dalam apa adanya.
Ternyata ” Hidup bukan tentang seberapa banyak yang kita miliki, tapi seberapa kuat kita melangkah tanpa kehilangan makna.” (By. Dr. Khairuddin, S.Ag,. MA)