T. Sukandi : Rp15 Ribu per Anak, Pelaksanaan Program MBG Aceh Selatan yang Dinilai Tak Efektif

T. Sukandi : Rp15 Ribu per Anak, Pelaksanaan Program MBG Aceh Selatan yang Dinilai Tak Efektif
Salah satu contoh menu MBG di SMA Negeri 1 Tapaktuan  Akurat Mengabarkan
Penulis
|
Editor
Bagikan:

KBBAceh.News | Tapaktuan – Program Makanan Bergizi Gratis (MBG) di Kabupaten Aceh Selatan yang sejatinya dirancang untuk menekan angka stunting dan memperkuat ekonomi lokal kini menjadi sorotan publik. Dengan anggaran Rp15.000 per anak per hari, pelaksanaan program ini dinilai belum mencerminkan semangat nasional yang dicanangkan oleh Presiden Prabowo Subianto, yakni meningkatkan gizi masyarakat sekaligus memberdayakan pelaku UMKM lokal.

Koordinator Forum Peduli Aceh Selatan (For-Pas), T. Sukandi, menilai pelaksanaan MBG di Aceh Selatan telah melenceng dari tujuan utama. Menurutnya, program yang seharusnya menjadi solusi gizi dan ekonomi rakyat justru memperlihatkan lemahnya pengawasan serta minimnya keterlibatan masyarakat lokal.

“Presiden sudah jelas menyampaikan bahwa MBG bukan sekadar makan gratis, tapi program strategis untuk memperkuat gizi rakyat dan menghidupkan dapur UMKM daerah. Namun di Aceh Selatan, pelaksanaannya tidak mencerminkan semangat itu. Banyak hal yang harus dievaluasi secara menyeluruh,” ujar Sukandi Minggu (5/10/2025).

Pasalnya, banyak menu yang dikeluhkan oleh wali murid seperti jajanan roti, kacang garuda, dan spageti. Padahal tujuan MBG ini jelas, yakni untuk menekan angka stunting, meningkatkan ekonomi masyarakat, mengurangi pengangguran, serta memberdayakan UMKM agar bisa berkembang. Namun kenyataannya, menu yang disediakan di lapangan banyak yang tidak memenuhi standar petunjuk teknis (juknis) yang berlaku.

T. Sukandi menyebutkan menurut juknis banyak menu yang jauh dari ketentuan gizi seimbang.

“Setiap menu seharusnya memiliki unsur karbohidrat, protein hewani, protein nabati, sayur, buah-buahan, dan sumber lemak lainnya, tapi di lapangan ada menu yang hanya menyajikan roti dan susu, bahkan ada juga kacang asin hingga menu yang basi setelah diterima anak-anak sekolah,” ungkapnya.

Berdasarkan Surat Keputusan Badan Gizi Nasional Republik Indonesia Nomor 63 Tahun 2025, besaran anggaran MBG ditetapkan sebesar Rp15.000 per penerima manfaat per hari, dengan rincian Rp8.000 untuk bahan makanan bagi anak balita, PAUD/TK/RA, dan SD/MI kelas 1–3, Rp10.000 untuk bahan makanan bagi SD/MI kelas 4–6, SMP/MTs, SMA/MA/SMK, ibu hamil, dan ibu menyusui, ditambah Rp3.000 untuk biaya operasional seperti listrik, gas, air, bahan bakar, serta distribusi, dan Rp2.000 untuk sewa sarana dan peralatan sebagaimana tercantum dalam SK BGN RI No. 63 Tahun 2025 Pasal 2 dan Lampiran Halaman 129–130.

Dengan alokasi sebesar itu, kata Sukandi, seharusnya kualitas dan nilai gizi menu terjamin serta pengelolaan program dilakukan secara transparan.

“Jika dilaksanakan sesuai juknis, anak-anak bisa memperoleh asupan gizi baik dan pelaku UMKM daerah pun ikut tumbuh. Tapi jika tidak diawasi, potensi penyimpangan sangat besar,” tegasnya.

T. Sukandi juga menyoroti lemahnya sinergi pemerintah daerah dengan pelaku usaha kecil dan tenaga ahli gizi. Padahal di Aceh Selatan, banyak lulusan D3 dan S1 gizi yang siap berkontribusi dalam perencanaan menu dan pengawasan mutu makanan.

“Tenaga gizi lokal dan UMKM kuliner seharusnya menjadi garda depan program MBG. Tapi kenyataannya mereka tidak dilibatkan. Ini bukan hanya melemahkan pengawasan, tapi juga menghambat perputaran ekonomi daerah,” tambah Sukandi.

Ia menilai pelaksanaan di lapangan belum sejalan dengan arahan Presiden yang menekankan pemberdayaan ekonomi rakyat melalui UMKM pangan, petani, dan nelayan kecil.

“Kalau bahan dan pengelolaannya tidak melibatkan pelaku lokal, bagaimana ekonomi masyarakat bisa bergerak?” katanya.

Menindaklanjuti berbagai laporan masyarakat, T. Sukandi mendesak Pemerintah Kabupaten Aceh Selatan untuk segera membentuk tim pengawasan independen guna menelusuri pelaksanaan program MBG, mulai dari sistem distribusi hingga penggunaan anggaran.

“Anak-anak tidak boleh jadi korban dari program yang dikelola tanpa transparansi. Pemerintah daerah harus berani melakukan audit dan menindak siapa pun yang bermain dalam anggaran publik,” tegas Sukandi.

Program Makanan Bergizi Gratis (MBG) merupakan salah satu prioritas nasional pemerintahan Presiden Prabowo Subianto yang bertujuan menekan angka stunting, memperbaiki kualitas gizi masyarakat, dan menggerakkan ekonomi lokal melalui pelibatan pelaku UMKM di setiap daerah.

Namun tanpa transparansi, pengawasan ketat, dan keterlibatan masyarakat lokal, program ini berisiko kehilangan kepercayaan publik. T. Sukandi menegaskan bahwa semangat MBG harus dikembalikan pada tujuannya memastikan gizi rakyat terpenuhi, dan ekonomi daerah ikut bergerak. (Red)

Bagikan:

Tinggalkan Komentar

error: Jangan Suka Copy Punya Orang, Jadilah Manusia Yang Kreatif!!