KBBAceh.News | SUBULUSSALAM – Delapan bulan sudah berlalu sejak tragedi memilukan itu merenggut nyawa Murdadi (30), seorang penjaga kebun sawit di Kampong Panglima Sahman, Kota Subulussalam. Namun bagi Ismawati, istrinya, luka itu belum juga mengering. Keadilan yang ia harapkan belum sepenuhnya terasa.

Kamis, 13 Februari 2025, menjadi hari yang tak akan pernah dilupakan oleh Ismawati. Di pagi buta yang berkabut, ia menemukan sendiri tubuh sang suami terbujur kaku — terikat, bersimbah darah, dan tersembunyi di bawah tumpukan pelepah sawit. Motor milik Murdadi terperosok ke dalam parit, sementara kandang kambing dan ayam di sekitarnya hangus terbakar. Jejak darah tersebar panjang di rerumputan, menjadi saksi bisu dari kekejian yang terjadi malam sebelumnya.
“Pagi itu, saya tidak hanya kehilangan suami. Saya kehilangan separuh jiwa saya,” tutur Ismawati, mengenang kembali peristiwa pahit tersebut dengan suara lirih.
Sidang yang Membuka Luka Lama
Sejak peristiwa tersebut, proses hukum berjalan. Tiga orang ditetapkan sebagai tersangka: Mardoni, Roni, dan Junaidi — ketiganya merupakan warga sekampung yang dahulu dikenal oleh Murdadi. Mereka ditangkap empat hari setelah kejadian. Dugaan motif: dendam lama dan rasa iri hati.
Namun bagi Ismawati, penangkapan bukanlah akhir dari perjuangan. Setiap kali sidang digelar, ia harus kembali mengingat luka yang berusaha ia sembuhkan. Dengan perut yang kala itu tengah mengandung, ia mengikuti setiap proses pengadilan — menatap wajah para tersangka, sembari menyimpan pertanyaan yang belum terjawab: Apakah hukuman yang dijatuhkan nanti akan sepadan dengan kehilangan yang ia alami?
“Setiap kali sidang dimulai, luka saya seperti disobek kembali. Tapi saya harus kuat, untuk suami saya, untuk anak saya,” ujarnya.
Kehilangan Ganda
Tak cukup dengan kehilangan sang suami, Ismawati kembali diuji. Di bulan September lalu, ia melahirkan bayi yang selama ini dikandungnya. Namun kondisi sang bayi lemah sejak lahir, dan hanya bertahan beberapa hari sebelum akhirnya mengembuskan napas terakhir.
“Saya tidak sempat lama memeluknya… Dia pergi menyusul ayahnya. Seolah mereka memang tidak ingin saya sendiri, tapi kenyataannya saya tetap ditinggal,” ucap Ismawati, berusaha menahan tangis.
Kini, ia menjalani hari-harinya dalam sunyi. Duka yang belum sembuh, dan harapan akan keadilan yang terus menggantung di langit Subulussalam.
Harapan untuk Keadilan
Ketakutan terbesar Ismawati bukan hanya soal kenangan yang tak bisa kembali. Tetapi juga kemungkinan bahwa para pelaku bisa mendapat hukuman ringan — yang baginya, tak setimpal dengan kehilangan yang ia derita.
“Kalau mereka dihukum ringan, bagaimana dengan kami yang kehilangan segalanya? Suami saya tak akan pernah kembali. Anak saya juga sudah tiada. Saya hanya ingin keadilan. Semoga pelaku dihukum seberat-beratnya,” katanya dengan suara bergetar.
Karena Ismawati tahu, keadilan memang tak bisa menghidupkan yang telah tiada. Tapi tanpa keadilan, luka itu mungkin tak akan pernah sembuh.
(Parwarta: M.Limbong)