Detail cerita ini tentu lebih panjang lagi, termasuk bantah-bantahan dari perusahaan-perusahaan yang namanya masuk dalam daftar. Namun, pelajaran yang dapat diambil adalah jika pemburuan penunggak pajak rawan bercampur baur dengan sensasi dan manuver politik balas-membalas, hasilnya sulit untuk maksimal.
Saat ini hampir semua partai politik menjadi bagian dari pemerintah, sehingga politisasi pemburuan penunggak pajak mungkin tidak potensial untuk terjadi. Apalagi sejauh ini yang diungkap hanyalah angka-angka, tanpa nama-nama perusahaan atau individu yang terlibat dalam praktik menunggak pajak. Tentu sah-sah saja untuk berspekulasi bahwa mungkin yang terjadi adalah manuver politik yang senyap.
Namun, kendati pemerintahan sekarang senang mengidentifikasikan diri sebagai pihak yang bersama rakyat, misalnya dengan mengangkat isu pelaku “serakahnomics” sebagai musuh rakyat, toh juga dekat dengan konglomerat atau “partai oligarki”, bahkan secara demonstratif pernah memamerkan pertemuannya dengan 9 konglomerat.
Maka, kendatipun Presiden Prabowo pernah menyatakan kegeramannya kepada pengusaha besar yang tidak membayar pajak, akhirnya tetap tidak mudah untuk mengharapkan ekspresi geram tersebut berbuah tindakan yang benar-benar tegas melawan keserakahan ekonomi.
Kepentingan Fiskal
Secara bersamaan, saat ini pemerintah dihadapkan pada kepentingan untuk mengisi kantong anggarannya yang cepat mengering akibat pengeluaran yang berskala jumbo untuk proyek-proyek ambisius. Dari kacamata fiskal, Rp60 triliun tentu berat untuk tidak dilirik.
Itulah sebabnya bisa dipahami bila DJP Kemenkeu berusaha gencar menagih tunggakan pajak tersebut. Ditambah lagi dengan iming-iming reward bagi petugas perpajakan yang dimunculkan oleh Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa, bila rasio pajak bisa mencapai 12%. Tahun lalu, rasio ini hanya 10,08% dari PDB.
Maka, bila benar-benar hendak menangguk penunggak pajak, yang harus menjadi motivasi utama adalah kepentingan pengamanan fiskal, bukan demi kepentingan-kepentingan lain yang semata-mata menyusup ke dalam pemburuan penunggak pajak.
Pihak DJP Kemenkeu menyatakan sudah melakukan pemanggilan kepada para wajib pajak yang tunggakan pajaknya berskala raksasa. Disebutkan bahwa per 26 September lalu, sudah ada 84 pengemplang pajak yang sudah menunaikan kewajiban pajaknya. Namun, nilainya rupanya baru sebesar Rp5,1 triliun.
Sisa yang belum dibayarkan masih begitu besar. Padahal, capaian penerimaan pajak sampai Agustus 2025 baru sekitar separuh dari target.
Menanti Keseriusan
Dengan demikian, kalau benar-benar serius hendak menangguk penunggak pajak, kesungguhan pemburuan haruslah tidak bisa ditawar-tawar. Bila memang ada yang benar-benar “bandel”, kiranya pantas nama-namanya dibuka ke masyarakat. Sebaliknya, untuk pihak yang kemudian taat melunasi kewajiban pajaknya, masuk akal kalau nama-namanya diungkapkan sebagai bentuk apresiasi, tetapi tidak berlebihan.
Tidak ketinggalan, secara periodik berapa banyak tagihan pajak yang sudah diperoleh, hendaknya juga disampaikan secara terbuka. Bukan cuma terkait dengan 200 penunggak pajak skala jumbo, melainkan juga penunggak lainnya yang jumlahnya tidak sedikit.
Hal-hal ini sekaligus sebagai bentuk pertanggungjawaban penyelenggara pemerintahan kepada masyarakat. Terlebih dalam kelompok penunggak pajak jumbo yang umumnya adalah wajib pajak perusahan ini diyakini banyak yang dekat dengan penguasa. Konsekuensinya, sekali terjadi praktik “tebang-pilih”, kredibilitas dari janji keseriusan memburu penunggak pajak akan tidak terselamatkan dan kekeringan fiskal akan mudah berlanjut. (Sumber, Kumparan)