KBBAceh.News | Tapaktuan – Ada penyakit yang tak terdeteksi oleh alat medis, tapi pelan-pelan merusak jiwa. Ia tumbuh di balik sanjungan, berakar dari tepukan, dan berbunga dari pujian yang terlalu sering kita dengar. Namanya “Gila Popularitas”, atau dalam bahasa ruhani disebut “Ghululul Istihsan”—penyakit yang membuat seseorang ingin terus terlihat, didengar, dan diakui.
Imam Ghazali menyebut, di antara sumbernya adalah rasa ingin sempurna. Ketika hati merasa tak mungkin salah, maka setiap kata orang menjadi bahan bakar keangkuhan. Lalu datanglah jebakan berikutnya: sanjungan menjadi candu. Semakin sering didengar, semakin sulit berhenti. Seperti seseorang yang menatap cermin terlalu lama, hingga ia lupa siapa dirinya yang sejati.
Lama-kelamaan, pujian berubah menjadi kebutuhan. Tanpa itu, jiwa terasa hampa. Seolah hidup tak berarti bila tak ada yang memuji. Maka lahirlah ujub dan sombong, dua anak dari satu rahim bernama “aku yang berlebihan”.
Hubungan pun perlahan rusak, sebab seseorang yang haus pujian akan sulit mengasihi. Ia melihat dunia hanya dari kaca dirinya sendiri, bukan dari mata orang lain.
Dan yang lebih parah, hatinya kehilangan arah. Ia lupa bahwa setiap tepuk tangan manusia hanyalah gema yang cepat hilang. Sementara ridha Allah-lah yang abadi dan menenangkan.
Rasulullah SAW pernah bersabda, “Taburkanlah tanah ke wajah orang yang terlalu memuji.”
Kalimat itu bukan ajakan kasar, tapi peringatan halus—bahwa pujian berlebihan bisa menjerumuskan, baik bagi yang memuji maupun yang dipuji.
Sebab di dalam sanjungan itu, sering tersembunyi racun yang manis: racun kesombongan.
Maka, jika hari ini engkau merasa haus akan pengakuan, berhentilah sejenak.
Tataplah langit—di sana ada Tuhan yang melihatmu bahkan ketika semua mata tertutup.
Ketenangan bukan datang dari sorak-sorai, melainkan dari sujud yang diam-diam.
Kebahagiaan bukan lahir dari banyaknya pengikut, tapi dari hati yang tunduk hanya kepada-Nya.
Jadilah seperti bumi: dipijak banyak orang, tapi tetap rendah.
Atau seperti matahari: bersinar terang tanpa perlu disebut besar.
Karena sejatinya, kemuliaan bukan tentang siapa yang dikenal dunia, tapi siapa yang dikenal langit. (By Dr. Khairuddin, S.Ag,. MA)