KBBAceh.News | Banda Aceh – Sebut saja, jika di Sebuah kantor pemerintahan yang sudah berdiri puluhan tahun, waktu berjalan tanpa suara.
Pagi datang, pegawai datang, senyum datang, tapi semangat tidak, yang tersisa hanyalah rutinitas yang diulang tanpa makna: tanda tangan, laporan, rapat, anggukan.
Semua tampak sibuk, tapi tak satu pun benar-benar bekerja dengan hati.
Di sana, setiap perintah atasan dianggap titah langit, Setiap kalimat yang keluar dari ruang kepala menjadi hukum yang tak boleh dibantah. Dan di balik senyum manis bawahan, ada ketakutan yang disembunyikan:
takut dianggap melawan, takut tak disukai, takut kehilangan posisi yang bahkan tak menjanjikan.
“Siap, Pak.” “Baik, Bu.” “Setuju, Pak.”
Kata-kata itu menjadi mantra keselamatan.
Ia menghindarkan dari konflik, tapi juga menjauhkan dari kebenaran. Bahkan, di meja rapat yang panjang itu, suara hati pun ikut diam.
Namun, tidak ada yang lebih berbahaya daripada diam yang dianggap profesional.
Sebab dari diam itulah lahir kesalahan yang beranak-pinak.
Atasan menjadi percaya diri tanpa koreksi,
bawahan menjadi pengecut yang merasa aman dalam bayangannya sendiri.
Mereka membangun tembok kesepakatan palsu, padahal di baliknya ada kebodohan yang perlahan menjadi sistem.
Atasan yang dikelilingi yes man bagaikan raja tanpa cermin, Ia tak tahu bahwa mahkotanya mulai miring, karena tak ada satu pun yang berani mengingatkan.
Dan bawahan yang selalu berkata “ya” seperti penari bayangan, bergerak sesuai irama, tapi tanpa arah dan ruh.
Keduanya sama-sama kehilangan sesuatu yang paling mahal: kejujuran, Sebab kebenaran yang tidak pernah diucapkan,
lama-lama akan terkubur oleh kenyamanan.
Dan saat itu terjadi, kantor bukan lagi tempat bekerja, melainkan ruang pertunjukan,
tempat setiap orang memainkan perannya agar terlihat baik di depan kamera waktu.
Suatu hari, seorang pegawai muda datang dengan semangat yang masih hangat.
Ia membaca data, menganalisis laporan, dan menemukan ada yang salah dalam mekanisme kerja. Dengan berani, ia sampaikan dalam rapat. Namun, ruangan mendadak hening.
Semua mata menatapnya seolah ia baru saja menghina tuhan kecil di ruang itu.
Atasannya tersenyum tipis, “Masukan yang bagus, tapi kita sudah punya cara sendiri,” katanya halus tapi tegas. Pegawai muda itu pun kembali duduk, dan sejak hari itu ia belajar satu hal, bahwa kejujuran kadang tidak laku di meja birokrasi.
Waktu berlalu.
Pegawai muda itu perlahan menua.
Kini ia pun duduk di kursi atasan.
Namun, tanpa sadar, ia mulai menuntut bawahannya untuk berkata “ya”.
Ia lupa, dulu ia juga pernah ingin didengar.
Begitulah, kebiasaan tunduk melahirkan generasi yang juga menundukkan.
Budaya yes man menurun lebih cepat daripada ilmu dan integritas.
Dalam banyak instansi, kita sering terjebak pada kesetiaan semu. Bawahan merasa setia karena selalu patuh, padahal yang dibutuhkan bukan kepatuhan membabi buta,
melainkan keberanian menjaga marwah lembaga dengan berpikir kritis dan jujur.
Atasan merasa dihormati karena tidak pernah dibantah, padahal yang ia dapat bukan hormat, melainkan ketakutan yang disamarkan dengan senyum.
Sungguh, loyalitas tanpa kejujuran hanyalah bentuk penghianatan halus. Sebab bawahan yang membiarkan atasannya salah,
sebenarnya sedang menjerumuskannya dengan sopan. Dan atasan yang menolak kritik, sebenarnya sedang menyiapkan kubur bagi reputasinya sendiri.
Ada pepatah lama yang berkata: “Api kecil yang diabaikan akan membakar rumah besar.”
Begitu pula dengan kebenaran kecil yang diabaikan dalam birokrasi, lama-lama akan membakar kepercayaan publik.
Rakyat bukan kehilangan keyakinan karena kesalahan satu orang,
tetapi karena diamnya banyak orang.
Birokrasi yang sehat tidak dibangun dari suara tunggal, tetapi dari keberanian untuk berdiskusi, berdebat, dan mencari jalan terbaik. Atasan yang baik tidak haus pujian,
tetapi lapar akan ide. Dan bawahan yang matang tidak takut mengingatkan, tetapi tahu bagaimana berbicara dengan santun dan data.
Keduanya harus saling menjaga, sebab yang satu memimpin arah, dan yang satu menguatkan langkah. Bila atasan kehilangan kepekaan, biarlah bawahan menjadi cermin yang jujur. Bila bawahan kehilangan arah,
biarlah atasan menjadi kompas yang menuntun. Begitulah semestinya hubungan yang saling menumbuhkan, bukan menenggelamkan.
Dan jika hari ini engkau masih menjadi yes man, maka renungkanlah:
Apakah engkau sungguh setia, atau hanya takut kehilangan kenyamanan yang fana?
Jika anda sudah bekerja 20 tahun, selama itu menjadi manusia yes man itu arinya anda selama 20 tahun mengubur akal dan integritas, Dua puluh tahun membiarkan dirimu menjadi alat, bukan insan yang berpikir.
Dan ketika masa pensiun tiba, yang tersisa hanyalah tumpukan berkas, tanda tangan, dan penyesalan, karena telah menghabiskan hidup untuk mengiyakan yang seharusnya ditolak.
Maka, beranilah berpikir. Beranilah berbicara dengan santun namun tegas. Karena bangsa tidak dibangun oleh banyaknya orang pandai berkata “ya”, tetapi oleh sedikit orang yang berani berkata “tidak” demi kebenaran.
Sebab dalam dunia kerja, yang setia bukanlah yang selalu patuh, melainkan yang tetap jujur ketika semua orang memilih diam. (By Dr. Khairuddin, S.Ag,. MA)