Ketika Bencana Datang, Di Mana Hati Kita?

Ketika Bencana Datang, Di Mana Hati Kita?
  Akurat Mengabarkan
Penulis
|
Editor
Bagikan:
KBBAceh.News | Banda Aceh – Bencana kembali menimpa sebagian wilayah Indonesia, termasuk Aceh. Air meluap, jalan terputus, rumah terendam, dan sebagian keluarga kehilangan banyak hal—kadang bukan hanya harta, tapi juga rasa aman dan harapan.
Namun di antara semua yang hanyut dibawa arus, ada satu yang paling berharga dan tidak boleh hilang: hati nurani seorang muslim.
Musibah seharusnya mengingatkan kita untuk kembali menjadi manusia.
Tetapi betapa sering musibah justru membongkar siapa yang benar-benar manusia, dan siapa yang hanya berwujud manusia namun hatinya mengeras saat saudara-saudara sedang jatuh.
Ketika Harga Melonjak, Akal Sehat Mulai Bertanya
Allah memberi kita akal,
tetapi bukan semua akal itu sehat.
Ada akal yang membuat manusia semakin dekat kepada Allah,
ada akal yang justru membuatnya semakin dekat kepada kezaliman.
Saat banjir merendam kampung,
saat tanah longsor memutus jalan,
saat masyarakat mulai kekurangan beras, gula, minyak, dan kebutuhan pokok,
di situlah akal kita diuji:
Akal yang sehat berkata: “Ini saatnya saya membantu. Saudara saya sedang kesusahan. Keuntungan besar bukan tujuan hidup.”
Akal yang sakit tetapi tampak waras berkata:
“Inilah waktunya meraup laba. Harga naik saja. Orang pasti beli, mau tidak mau.”
Padahal manusia yang menaikkan harga dua atau tiga kali lipat saat bencana tidak sedang menjalankan perdagangan, tetapi sedang menjalankan kezaliman dalam bentuk paling nyata.
Ia mungkin tersenyum ketika uang masuk, tetapi ia lupa bahwa setiap rupiah yang diperoleh dari kesusahan orang lain adalah beban yang akan menenggelamkannya kelak.
Dalam Islam, Kezaliman Bukan Sekadar Luka—Ia Adalah Dosa yang Mencari Pemiliknya
Rasulullah SW mengingatkan “Jauhilah kezaliman, karena kezaliman itu kegelapan pada hari kiamat.”
Kegelapan itu tidak datang tiba-tiba. Ia dimulai ketika seorang ibu berdiri di pasar, memegang uang pas-pasan, dan melihat harga minyak goreng naik dua kali lipat.
Ia menatap lama, berharap ada yang bisa ditawar, tetapi tidak ada. Ia pulang dengan tangan kosong, tetapi hati penuh keluh dan tangis.
Kegelapan itu dimulai ketika seorang ayah harus berkeliling tiga kali lebih jauh,
karena toko-toko menaikkan harga beras seolah bangsa ini sedang berpesta,
padahal sebagian saudara sedang tenggelam dalam lumpur.
Kezaliman itu kecil di mata pelakunya,
tetapi besar dalam catatan Allah, karnanya Bencana Menguji Keimanan, Bukan Keserakahan
Allah menguji manusia bukan untuk melihat siapa yang paling untung, tetapi siapa yang paling peduli.
Musibah bukan peluang dagang, musibah adalah peluang menjadi manusia.
Musibah bukan undangan untuk mengambil keuntungan besar, musibah adalah undangan Allah untuk melihat bahwa siapa yang benar-benar memahami makna ukhuwah,
siapa yang masih memiliki hati yang lembut, siapa yang tetap berbuat baik ketika hidup memaksa untuk egois.
Bencana yang menimpa Aceh bukan hanya tentang curah hujan atau cuaca ekstrem,
tetapi tentang kualitas jiwa.
Apakah kita ikut meringankan beban? Ataukah kita justru menambah beban dengan menaikkan harga pangan?
Apakah kita ikut menjadi peneduh? Ataukah kita menjadi duri di tengah luka?
Sudahlah saudaraku, Kembali Menjadi Aceh yang Seharusnya yaitu Aceh dikenal sebagai daerah yang religius, tanah yang penuh sejarah perjuangan, tempat dimana nilai-nilai Islam tidak sekadar dihafal tetapi seharusnya diamalkan.
Maka pantaskah, di tanah yang pernah menumpahkan darah syuhada, kita menzalimi saudara kita sendiri?
Pantaskah kita mengaku cinta Rasul,
tetapi menjual beras dengan harga yang tidak mencintai siapa pun kecuali diri sendiri?
Ini waktunya kita berkata kepada diri sendiri bahwa “Kalau saya tidak bisa menolong, setidaknya saya jangan menyakiti.”
“Kalau saya tidak bisa memberi, cukup saya jangan menzalimi.”
Karena dalam keadaan bencana, tidak naiknya harga barang adalah sedekah diam-diam.
Mempertahankan harga normal adalah ibadah sosial. Tidak menekan orang lain adalah bentuk tertinggi dari akal yang selamat.
Air mungkin naik dan menerjang, tanah mungkin runtuh, rumah mungkin hanyut,
tetapi jangan biarkan hati kita ikut hanyut.
Musibah boleh mengambil harta,
tetapi jangan biarkan ia mengambil nurani.
Karena bencana terburuk bukanlah banjir,
melainkan ketika manusia berubah menjadi serigala bagi saudaranya sendiri.
Semoga Allah melembutkan hati kita,
mencerdaskan akal kita,
dan menguatkan kita untuk tidak menzalimi dalam kondisi apa pun.
(By Dr. Khairuddin, S.Ag,. MA)
Bagikan:

Tinggalkan Komentar

error: Jangan Suka Copy Punya Orang, Jadilah Manusia Yang Kreatif!!