By. Dr. Khairuddin, S.Ag,. MA
KBBAceh.News | Tapaktuan – Setiap orang pasti pernah merasa galau. Rasanya gelisah, tidak tenang, seolah ada yang salah, tapi tidak selalu tahu apa penyebabnya. Dalam pekerjaan, galau muncul ketika apa yang kita kerjakan tidak memberi rasa puas, meski sudah selesai sesuai target. Dalam pergaulan, galau hadir ketika kita bersama banyak orang, tetapi hati terasa sepi dan hampa.
Sebetulnya, galau bukan sekadar rasa kosong tanpa arti. Galau adalah tanda. Ia seperti alarm hati, yang memberi pesan: “Hei, ada yang perlu kamu benahi dalam dirimu.”
Kalau kita mau jujur, galau sering bermula dari sifat-sifat yang kita pelihara tanpa sadar.
1. Tidak Ikhlas : Bayangkan seseorang yang bekerja hanya demi penilaian atasan. Saat dipuji, ia senang luar biasa. Tapi saat kritik datang, hatinya hancur. Dalam pergaulan pun sama, kalau kita hanya mencari pengakuan, maka ketika tidak diperhatikan, galau pun datang.
2. Ambisi yang Berlebihan : Ambisi itu baik, ia memberi semangat. Tetapi jika terlalu besar tanpa kesiapan, ambisi justru jadi sumber kecewa. Ibarat orang yang baru belajar bersepeda, tapi memaksa ingin ikut balapan motor. Akhirnya, bukan sampai tujuan, malah jatuh di tengah jalan.
3. Kurang Percaya Diri dan Suka Membandingkan : Ada orang yang terus merasa rendah, karena melihat orang lain lebih berhasil. Lalu ia membandingkan diri, padahal jalan hidup tiap orang berbeda. Sama seperti tanaman: ada yang cepat berbunga, ada yang butuh waktu lama untuk berakar dulu. Membandingkan diri hanya membuat hati semakin resah.
4. Lupa pada Allah : Inilah akar terdalam. Ketika hubungan dengan Allah mulai renggang, pekerjaan jadi sekadar rutinitas, pergaulan hanya jadi formalitas. Hati pun mudah kosong, karena hilang pegangan.
Coba kita bayangkan galau seperti lampu indikator di dashboard mobil. Jika lampu oli menyala, bukan berarti mobil rusak total, tapi ada bagian yang harus dicek. Jika kita abaikan, lama-lama bisa merusak mesin. Begitu juga galau: ia bukan tanda kita gagal, tapi tanda bahwa ada hal yang perlu kita perhatikan dalam hati.
Sayangnya, banyak orang justru salah merespons galau. Ada yang menutupinya dengan sibuk bekerja tanpa arah. Ada yang melarikan diri dalam pergaulan yang semu, agar terlihat bahagia di luar padahal hampa di dalam. Padahal, galau seharusnya dijadikan cermin untuk mengenali diri.
Mengubah Galau Menjadi Guru
Kesadaran diri adalah kuncinya. Kalau kita berani menengok ke dalam, galau bisa menjadi guru terbaik. Ia mengajarkan bahwa: Pekerjaan harus dilandasi ikhlas, bukan sekadar mencari pujian, Ambisi harus realistis, disertai usaha dan kesabaran atau Membandingkan diri itu sia-sia, karena Allah sudah menyiapkan jalan masing-masing atau yang terpenting, hati akan tenang bila selalu dihubungkan dengan Allah.
Dengan begitu, galau tidak lagi menjadi beban, tetapi jalan menuju kedewasaan.
Galau tidak selalu buruk. Justru ia bisa menjadi cermin, agar kita melihat diri lebih dalam. Orang yang paling kuat bukanlah yang tidak pernah galau, tapi yang mampu menjadikan galau sebagai bahan renungan untuk memperbaiki niat, memperkuat langkah, dan kembali menghadirkan Allah dalam setiap perjalanan hidupnya.
Karena pada akhirnya, pekerjaan dan pergaulan hanyalah bagian dari perjalanan. Yang terpenting adalah bagaimana hati kita tetap jernih, kuat, dan tenang, agar tidak terjebak dalam keramaian dunia, tetapi tetap pulang pada kesejatian. (Red)