AIR DAN PERINGATAN

AIR DAN PERINGATAN
  Akurat Mengabarkan
Penulis
|
Editor
Bagikan:
By Dr. Khairuddin, S. Ag. MA
KBBAceh.News| Banda Aceh – Banjir bandang dan longsor yang datang silih berganti sering kita sebut sebagai musibah. Kata itu kita ucapkan dengan nada pasrah, lalu kita buru-buru mencari cara bertahan dan bangkit kembali. Namun jarang sekali kita berhenti sejenak untuk bertanya: apakah air ini sekadar datang, atau sedang menyampaikan sesuatu?
Surah Al-A‘rāf ayat 59–64 membawa kita pada satu kisah lama yang terasa sangat dekat dengan hari ini: kisah Nabi Nuh ‘alaihis salam dan kaumnya. Seorang nabi berdiri sendirian di tengah masyarakatnya, mengingatkan tentang tauhid, keadilan, dan akibat dari pembangkangan. Ia tidak datang membawa ancaman kosong, tetapi peringatan yang panjang, sabar, dan berulang-ulang. Namun respons yang ia terima bukanlah renungan, melainkan penolakan.
Jawaban para pembesar kaum Nabi Nuh—“Sesungguhnya kami melihat engkau dalam kesesatan yang nyata”—bukan sekadar kalimat teologis. Ia adalah bahasa kekuasaan. Mereka tidak sedang menguji kebenaran risalah, melainkan sedang melindungi kenyamanan hidup yang telah mapan. Dalam tafsir klasik, tuduhan “sesat” itu lahir dari para elite yang merasa terusik oleh seruan perubahan. Ketika peringatan menyentuh kepentingan, yang diserang bukan pesan, melainkan pembawanya. Nabi Nuh dianggap salah, bukan karena ucapannya keliru, tetapi karena ucapannya mengganggu tatanan lama.
Pola ini terasa sangat hidup hari ini. Ketika banjir bandang dan longsor merenggut rumah, sawah, dan nyawa, kita mendengar jawaban para pembesar modern yang nyaris seragam: “Ini murni bencana alam,” “Curah hujan ekstrem,” atau “Tidak ada kaitannya dengan kebijakan manusia.” Kalimat-kalimat ini terdengar rasional, ilmiah, dan menenangkan, tetapi sesungguhnya sering menjadi tameng untuk menghindari muhasabah. Sebagaimana kaum Nuh, mereka tidak menyangkal adanya air, tetapi menolak pesan di baliknya.
Lebih ironis lagi, siapa pun yang mencoba mengaitkan bencana dengan pembabatan hutan, salah urus tata ruang, tambang yang rakus, atau kebijakan yang abai terhadap lingkungan, kerap dicap berlebihan, tidak objektif, bahkan dituduh menunggangi isu. Label “sesat” hari ini mungkin tidak lagi diucapkan secara terang, tetapi ia hadir dalam bentuk baru: tidak ilmiah, mengganggu stabilitas, atau membuat gaduh. Substansinya sama—membungkam peringatan.
Padahal Al-Qur’an melalui kisah Nabi Nuh mengajarkan bahwa azab tidak turun secara tiba-tiba. Ia datang setelah peringatan diabaikan, dinasihati lalu ditertawakan, diingatkan tetapi disangkal. Kaum Nuh menertawakan peringatan banjir di tanah yang kering. Kita hari ini justru sering menertawakan peringatan ketika hujan sudah turun berhari-hari dan tanda-tanda kerusakan sudah nyata di depan mata.
Ketika air akhirnya benar-benar datang, narasi pun berubah. Tidak lagi soal kebijakan, tidak lagi soal kesalahan manusia, tetapi segera dibungkus dengan satu kata yang terdengar suci: takdir. Sebuah kata yang benar, tetapi kerap disalahgunakan untuk menutup kelalaian kolektif. Takdir dijadikan tirai, bukan cermin.
Surah Al-A‘rāf ayat 64 menutup kisah Nabi Nuh dengan dua hal yang kontras: kebinasaan bagi yang mendustakan dan keselamatan bagi yang beriman. Keselamatan itu tidak diukur dari jumlah, jabatan, atau pengaruh, tetapi dari kesediaan untuk mendengar dan berubah. Mereka yang selamat bukan yang paling kuat, melainkan yang paling patuh pada peringatan.
Maka banjir dan longsor hari ini seharusnya tidak hanya melahirkan bantuan darurat, tetapi juga kejujuran darurat. Kejujuran untuk mengakui bahwa ada yang salah dalam cara kita memperlakukan alam, mengelola kekuasaan, dan mendefinisikan pembangunan. Sebab dalam kisah Nabi Nuh, kesesatan yang nyata bukan pada mereka yang memperingatkan, melainkan pada mereka yang menertawakan peringatan sambil terus merasa aman.
Diakhir tulisan ini penulis menyampaikan suatu hal : Dan semoga, kali ini, kita tidak memilih peran sebagai mereka yang berkata: “Ini hanya biasa,” sebelum air benar-benar menutup segalanya. (Red)
Bagikan:

Tinggalkan Komentar

error: Jangan Suka Copy Punya Orang, Jadilah Manusia Yang Kreatif!!