KBBAceh.News | Tapaktuan – Dalam masyarakat Aceh, ada sebuah ungkapan penuh makna: “Male kurueng umpeun raya.”
Ungkapan ini secara harfiah berarti malu yang berkurang demi keuntungan besar, namun secara maknawi, ia menggambarkan kondisi moral ketika seseorang rela menanggalkan rasa malu demi memperoleh kepentingan pribadi, kedudukan, atau keuntungan duniawi.
Rasa malu dalam Islam bukan sekadar perasaan batin yang timbul karena aib, tetapi merupakan bagian dari iman. Rasulullah SAW bersabda:Malu itu bagian dari iman. (HR. Bukhari dan Muslim)
Artinya, ketika rasa malu sirna dari diri seseorang, maka sebagian dari imannya pun telah pudar.
Di sinilah makna mendalam dari ungkapan “male kurueng umpeun raya” menemukan relevansinya — bahwa ketika manusia rela menukar harga dirinya dengan kesenangan sesaat, ketika kehormatan dijual dengan imbalan dunia, maka sesungguhnya ia sedang kehilangan bagian terpenting dari jati dirinya: akhlak.
1. Malu yang Bernilai Iman
Malu adalah benteng pertama akhlak. Ia menjaga seseorang dari melakukan keburukan meski tak ada yang melihat.
Namun kini, banyak yang menjadikan “malu” sebagai beban sosial, bukan sebagai kontrol moral.
Orang malu jika tidak tampil mewah, tapi tidak malu ketika berbohong.
Orang malu jika tidak dihargai, tapi tidak malu ketika melanggar amanah.
Padahal sejatinya, malu bukan untuk dunia, tapi untuk menjaga hubungan kita dengan Allah.
Ungkapan orang Aceh di atas menjadi sindiran tajam bagi fenomena moral saat ini — ketika malu dihitung sebagai kerugian, dan berani berbuat salah dianggap sebagai kelincahan mencari peluang.
2. Hilangnya Malu, Awal dari Segala Kejahatan
Ketika malu hilang, batas antara yang halal dan haram pun menipis.
Orang bisa menipu dengan senyum, mengambil hak orang lain dengan alasan “kreatif,” bahkan menghalalkan segala cara demi “umpeun raya” — keuntungan besar.
Di sinilah akar dari berbagai penyimpangan moral: korupsi, manipulasi data, gratifikasi, hingga kebohongan publik.
Semuanya bermula dari satu hal: hilangnya malu kepada Allah.
Ibnu Mas’ud pernah berkata:
“Jika engkau tidak malu kepada Allah, maka lakukanlah sesukamu.”
Kalimat ini bukan izin, tapi peringatan. Artinya, jika seseorang sudah tak punya malu, maka ia tak lagi punya kendali batin — karena rasa malu adalah pengingat antara iman dan maksiat.
3. Membangun Kembali Budaya Malu
Masyarakat Aceh dikenal dengan adat yang bersendikan syariat. Namun adat tanpa akhlak hanyalah seremonial kosong.
Kita perlu menanamkan kembali rasa malu bukan hanya di rumah, tapi di kantor, sekolah, dan ruang publik.
Malu berbuat curang.
Malu datang terlambat.
Malu berjanji tanpa menepati.
Malu mengambil yang bukan haknya.
Inilah malu yang mulia, malu yang menghidupkan iman.
Rasa malu bukan penghalang untuk maju, tapi penyaring agar langkah kita tetap bersih.
Malu membuat kita berhenti sebelum tergelincir, dan berpikir sebelum bertindak.
4. Akhlak sebagai Cermin Harga Diri
Orang yang masih memiliki rasa malu akan menjaga lisannya, pekerjaannya, dan jabatannya.
Ia tidak akan rela menukar kehormatan dengan harta.
Ia tahu, nilai dirinya bukan pada apa yang ia miliki, tapi pada apa yang ia jaga.
Sebaliknya, ketika malu hilang, maka semua batas etika runtuh — dan manusia berubah menjadi makhluk yang hanya menghitung keuntungan tanpa nurani.
Ungkapan male kurueng umpeun raya menjadi pengingat bagi kita semua: jangan sampai kehilangan malu demi keuntungan yang fana, karena yang tampak “umpeun raya” di dunia, bisa jadi adalah “kerugian besar” di akhirat.
5. Penutup: Kembalilah pada Akhlak
Akar dari setiap kebaikan adalah iman, dan buah dari iman adalah akhlak.
Ketika rasa malu hilang, iman menipis, dan akhlak pun musnah.
Maka untuk memperbaiki masyarakat, kita tidak cukup dengan aturan — tapi harus menumbuhkan kembali rasa malu yang berlandaskan iman.
Bukan malu karena pandangan manusia, tapi malu karena pandangan Allah.
Sebagaimana pepatah Aceh mengingatkan:
“Male kurueng umpeun raya” — jangan rela menggadaikan malumu, walau keuntungan tampak besar di mata dunia.
Karena pada akhirnya, kehormatan yang dijaga dengan malu jauh lebih bernilai daripada harta yang dikumpul dengan tipu daya.
(By Dr. Khairuddin, S.Ag,. MA)