By Dr. Khairuddin, S.Sg,. MA
KBBAceh.News | Tapaktuan – Kita hidup di zaman yang penuh dengan kecepatan dan kemudahan, segala sesuatu bisa diakses dalam genggaman. Namun bersamaan dengan kemajuan ini, hadir pula sebuah ironi yang menyentuh hati: sarana yang tersedia bisa menjadi alat kebaikan, tapi juga dapat membuka pintu-pintu maksiat. Di satu sisi, teknologi dan fasilitas semakin canggih; di sisi lain, syariat Allah tetap tegas membatasi hal-hal yang membahayakan jiwa dan merusak akhlak.
Lihatlah gawai di tangan kita. Ia bisa menjadi alat untuk membaca Al-Qur’an, mendengarkan tausiah, memperdalam ilmu agama, dan berdakwah. Tapi di saat yang sama, ia juga bisa menjadi pintu bagi tontonan yang tidak pantas, perbincangan yang melalaikan, bahkan zina visual yang tersembunyi di balik layar. Begitu mudah tergelincir hanya dengan sekali klik.
Media sosial pun demikian. Ia bisa menjadi sarana silaturahim, berbagi motivasi, menyebarkan dakwah dan semangat kebaikan. Tapi betapa sering juga ia digunakan untuk menebar ghibah, fitnah, memamerkan aurat, atau mengejar validasi yang sia-sia dengan mengumbar kehidupan pribadi. Di sinilah kita diuji: bukan pada alatnya, tetapi pada pilihan kita dalam menggunakannya.
Contoh lain, tempat hiburan. Mall, café, bioskop, bahkan gym—semuanya bisa jadi tempat yang netral. Namun dalam praktiknya, tak jarang menjadi lokasi pergaulan bebas, pelanggaran etika berpakaian, dan ajang unjuk kemewahan yang menjauhkan kita dari sikap tawadhu’. Bahkan acara yang mengatasnamakan seni dan budaya kadang sarat dengan pelanggaran nilai-nilai syariat, meski di saat yang sama ada aturan agama dan hukum negara yang melarang maksiat terang-terangan.
Lalu lihat pula bagaimana pesta pernikahan diselenggarakan. Seringkali lebih megah dari maknanya. Musik keras, campur baur tanpa batas, dandanan berlebihan—semua tampak biasa karena dibungkus dalam momen kebahagiaan. Padahal bisa jadi, ia justru menjadi ladang dosa massal. Di sisi lain, kita tahu jelas bahwa Islam mengajarkan kesederhanaan, menutup aurat, dan menjaga pergaulan.
Dan yang paling nyata di sekitar kita—praktik korupsi atau manipulasi data dalam birokrasi. Komputer, surat-surat, bahkan cap dan tanda tangan yang seharusnya untuk pelayanan umat, malah digunakan untuk kepentingan pribadi, memperlancar jalan maksiat administratif yang merugikan orang banyak. Padahal aturan tegas sudah dibuat. Sanksi sudah jelas. Namun godaan dan celah tetap dicari oleh hati yang lemah iman.
Maka renungilah: sarana memang netral, tapi arah penggunaannya bergantung pada hati dan niat kita. Allah telah menetapkan batas. Rasul telah menunjukkan jalan. Aturan telah disampaikan, dan nurani pun bisa membedakan. Jika kita tetap melangkah ke arah yang salah, itu bukan karena kurangnya petunjuk, tapi karena kita sengaja memalingkan wajah dari cahaya.
Saat dunia menawarkan dua jalan, pilihlah dengan iman. Pilih yang menumbuhkan rasa malu kepada Allah. Pilih yang membuat hati tenang, meski tidak selalu menyenangkan. Karena kesenangan yang melanggar aturan hanya akan meninggalkan luka dan kehampaan. Tapi ketaatan, meski awalnya berat, akan mendatangkan kelapangan hati dan keberkahan hidup.
Ingatlah..
Bukan teknologinya yang salah, bukan fasilitasnya yang berdosa. Tapi kita yang harus bijak. Karena sarana boleh ganda, tapi hati kita hanya bisa berpihak pada satu: ridha Allah, atau murka-Nya. (Red)