KBBAceh.News | Banda Aceh – Manusia itu makhluk yang rumit. Kadang tampak kuat di luar, tapi rapuh di dalam. Kadang terlihat tegar, padahal hatinya sedang gemetar. Al-Qur’an membuka rahasia itu, satu per satu, agar kita tidak tertipu oleh diri sendiri.
Allah menggambarkan manusia sebagai penakut (QS. Al-Baqarah: 155). Lihatlah, sedikit saja ujian datang, kita mulai goyah. Ketika kehilangan jabatan, rezeki menurun, atau nama tak lagi disebut, hati langsung cemas. Padahal, takut bukan untuk dihindari — ia adalah tanda bahwa kita sadar akan keterbatasan diri. Yang salah bukan rasa takutnya, tapi ketika kita membiarkan takut itu memutus hubungan dengan Allah.
Manusia juga lemah (QS. An-Nisa’: 28). Kelemahan itu bukan aib, melainkan pengingat bahwa kita tidak bisa berjalan sendirian. Kita butuh sandaran, dan sandaran terbaik hanyalah Allah. Namun ironisnya, di balik kelemahan itu, manusia sering merasa paling mampu. Ia menepuk dada, lupa bahwa napasnya pun bukan miliknya.
Lalu, manusia mudah terpedaya (QS. Al-Infithar: 6). Dunia yang berkilau membuat kita lupa arah. Seperti anak kecil yang sibuk mengejar gelembung sabun, padahal ia tahu gelembung itu akan pecah juga. Harta, jabatan, dan pujian adalah gelembung-gelembung yang menipu — indah, tapi sementara.
Tak hanya itu, manusia lalai (QS. At-Takatsur: 1). Kita sibuk menghitung apa yang dimiliki, bukan apa yang bermanfaat. Kita berlari mengejar angka, bukan makna. Lupa bahwa waktu berjalan tanpa menoleh ke belakang.
Manusia juga suka berprasangka (QS. Yunus: 36). Kita cepat menilai, lambat memahami. Padahal, prasangka buruk adalah racun halus yang merusak keikhlasan dan persaudaraan. Betapa sering hati rusak bukan karena dosa besar, tapi karena prasangka kecil yang dibiarkan tumbuh.
Kita pun mudah bersedih (QS. Al-Baqarah: 62) dan tergesa-gesa (QS. Al-Isra’: 11). Dua sifat ini membuat kita kehilangan sabar dan arah. Padahal, waktu Allah tidak pernah terlambat. Hanya manusia yang sering terburu-buru meminta hasil tanpa mau menempuh proses.
Sifat suka membantah (QS. An-Nahl: 4) pun sering muncul. Manusia merasa tahu segalanya, padahal sering kali ia sedang menolak kebenaran karena gengsi. Ketika dinasihati, ia berkelit; ketika diingatkan, ia merasa diserang. Inilah bentuk kesombongan yang paling halus — menolak kebenaran bukan karena tidak tahu, tapi karena tidak mau.
Manusia juga sering berlebihan (QS. Yunus: 12), berangan-angan kosong (QS. Al-Hadid: 14), berkeluh kesah (QS. Al-Ma’arij: 20), dan mudah putus asa (QS. Fussilat: 49). Hidupnya diombang-ambingkan oleh perasaan sendiri. Ketika mendapat nikmat, lupa bersyukur; ketika diuji, lupa bersabar. Padahal, Allah selalu ada, bahkan ketika manusia berpaling.
Sifat yang paling berbahaya adalah sombong (QS. Al-Isra’: 83), kikir (QS. Al-Isra’: 100), kufur nikmat (QS. Az-Zukhruf: 5), ingkar (QS. Al-‘Adiyat: 6), zalim dan bodoh (QS. Al-Ahzab: 72). Sombong membuat kita buta, kikir membuat kita kaku, kufur membuat kita lupa, dan zalim membuat kita gelap. Semua itu adalah kabut yang menutupi cahaya hati.
Namun, di balik semua kelemahan itu, Allah masih memberi ruang: ruang untuk sadar, untuk kembali, untuk berubah. Tidak ada manusia yang sempurna, tapi setiap manusia bisa memperbaiki diri. Setiap sifat buruk bisa diobati, asalkan kita mau mengakui bahwa penyakit itu memang ada dalam diri kita.
Mengenali sifat-sifat manusia dalam Al-Qur’an adalah seperti menatap cermin. Kadang tak nyaman, karena yang terlihat bukan hanya wajah, tapi juga luka. Tapi dari sanalah perubahan dimulai — dari kejujuran menghadapi diri sendiri.
Maka, jangan takut melihat kekuranganmu. Takutlah jika engkau tak mau memperbaikinya. Sebab, kelemahan manusia bukan untuk ditangisi, melainkan untuk disadari dan dijadikan jalan pulang kepada Allah. (By Dr. Khairuddin, S.Ag,. MA)