KBBAceh.News | Banda Aceh – Tidak semua undangan itu datang dengan amplop putih dan senyuman.
Tidak semua panggilan itu hadir dengan kata “silakan masuk.”
Kadang undangan dari Allah datang dalam bentuk yang paling tidak kita sukai: kecewa, kehilangan, kegagalan, ditinggalkan, atau disakiti.
Namun siapa pun yang pernah melewati ujian hidup dengan mata hati yang terbuka akan mengakui satu hal musibah selalu membawa maksud yang jauh lebih besar daripada rasa sakitnya.
Musibah bukan hukuman.
Musibah bukan pembatalan hidup.
Musibah adalah undangan naik kelas—undangan yang sering disalahpahami oleh manusia yang terburu-buru menilai.
Bayangkan seorang murid yang sedang duduk belajar di kelas lama. Ia merasa nyaman. Kursinya pas, suasananya familiar, dan semuanya terkendali.
Tiba-tiba guru masuk, mengetuk meja, dan berkata:
“Kamu pindah ke kelas yang lebih tinggi. Sekarang juga.”
Murid itu terkejut, Ia bahkan belum siap, Ia merasa belum pantas.
Tetapi guru yang bijak tahu sesuatu yang murid itu tidak tahu: potensinya lebih besar dari yang ia kira.
Begitu pula musibah, Allah tidak menunggu kita siap, Allah justru mengirim ujian karena kita sudah siap — hanya saja kita tidak menyadarinya.
Musibah membuat sebagian orang runtuh.
Mereka melihat retakan sebagai akhir segalanya. Mereka tersungkur sembari bertanya: “Kenapa aku yang harus begini?”
Tetapi ada golongan lain—golongan yang jarang sekali jumlahnya—yang melihat retakan tersebut sebagai pintu. Saat tanah di bawahnya bergeser, ia sadar bahwa Allah sedang membongkar lantai lamanya untuk menunjukkan tangga menuju tingkat berikutnya.
Ia tidak bertanya, “Kenapa aku?”
Ia berkata, “Baik, Ya Allah. Jika ini undangan-Mu, aku datang sebagai murid yang ingin naik kelas.”
Itulah hukum hidup, Kenaikan kelas tidak pernah dimulai dengan tepuk tangan; tapi dengan ujian.
• Jika hidup terasa lebih berat, itu tanda Allah menaikkan standar.
• Jika doa terasa ditunda, itu tanda Allah ingin memperdalam isi hati.
• Jika jalan terasa gelap, itu tanda Allah sedang melatih mata iman agar mengenali cahaya dari balik kegelapan.
Allah tidak memberi soal kelas empat kepada murid kelas satu.
Kalau musibah datang, itu artinya Allah berkata:
“Aku yakin kamu mampu.”
Coba bayangkan Besi yang ingin menjadi pedang tidak boleh cengeng saat ditempa.
Ia harus menerima panas, palu, dan bentuk yang dipukul berkali-kali.
Kalau besi bisa bicara, mungkin ia akan berteriak karena rasa sakitnya.
Tetapi setelah semuanya selesai, ia akan menjadi sesuatu yang kuat, indah, dan berguna.
Musibah adalah palu.
Hati kita adalah besi.
Dan derajat kita adalah pedang yang sedang dibentuk.
Jika musibah datang, jangan buru-buru menganggapnya hukuman.
Jangan langsung menyimpulkan bahwa hidup sedang merosot.
Justru terkadang Allah sedang memanggil kita ke ruang yang lebih tinggi—ruang yang hanya dihuni orang-orang yang kuat hatinya.
Musibah bukan akhir.
Musibah bukan jalan buntu.
Musibah adalah surat keputusan dari langit yang berbunyi:
“Selamat. Kamu terpilih untuk naik kelas.”
Dan orang berjiwa besar akan menjawab:
“Aku siap, Ya Allah. Meski hatiku gemetar, aku tetap datang.”
(By Dr. Khairuddin, S.Ag,. MA)