Shalat: Antara Kebiasaan dan Kesadaran

Shalat: Antara Kebiasaan dan Kesadaran
  Akurat Mengabarkan
Penulis
|
Editor
Bagikan:
KBBAceh.News | Tapaktuan – Shalat lima waktu adalah perintah paling mendasar dalam Islam. Ia ibarat tiang yang menegakkan bangunan iman. Namun, pertanyaan yang sering luput kita renungkan adalah: shalat yang kita kerjakan selama ini, lahir dari kesadaran atau sekadar kebiasaan?
Allah berfirman bahwa shalat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar. Tapi mari jujur pada diri sendiri: benarkah shalat kita sudah benar-benar menjadi rem moral, ataukah hanya rutinitas jasmani yang tak pernah menyentuh hati?
Ada dua wajah shalat.
Pertama, shalat yang dikerjakan dengan kesadaran. Hati hadir, niat tertuju pada Allah, dan setiap gerakan menjadi pengingat arah hidup. Shalat seperti ini melahirkan kekuatan moral. Ia membuat seseorang menolak kezaliman, malu berbuat dosa, dan tergerak untuk menebar kebaikan.
Kedua, shalat yang dijalankan hanya karena kebiasaan. Tubuh bergerak, lidah melafal, tetapi hati kosong. Shalat jenis ini seperti ritual sosial—memberi identitas, namun tak memberi pengaruh nyata. Orang tetap bisa berlaku curang, berbohong, bahkan menyakiti, meski tak pernah lalai dari rakaat.
Di sinilah letak kejujuran diri. Jika selepas shalat kita merasa lebih ringan menahan amarah, lebih mudah memaafkan, atau lebih malu berbuat salah, itu tanda shalat kita hidup. Tetapi jika shalat tak meninggalkan bekas, lalu kita tetap tergelincir pada keji dan mungkar, itu tanda shalat kita hanya kebiasaan yang membius.
Shalat seharusnya menjadi jembatan antara sujud di sajadah dengan sikap di dunia nyata. Ia bukan sekadar bacaan, tapi peringatan. Ia bukan hanya rutinitas, tapi kekuatan. Pertanyaannya: apakah kita sudah menyalakan kesadaran itu? Atau kita masih terjebak dalam kebiasaan yang membuat shalat sekadar “lima kali olahraga rohani”?
Sesungguhnya, shalat yang benar akan menumbuhkan malu pada maksiat sebelum tangan berbuat, sebelum lisan terucap, sebelum langkah menjejak. Shalat yang sadar adalah benteng, sedangkan shalat yang kebiasaan hanyalah bayangan benteng—kokoh dilihat, rapuh disentuh.
Maka, mari kita tanyakan pada diri sendiri: apakah shalatku hari ini sudah menghidupkan hati, atau baru sekadar menggerakkan tubuh? Jawaban itulah yang akan menentukan, apakah shalat kita benar-benar mencegah mungkar, atau justru menjadi kebiasaan kosong yang meninabobokan.
(By Dr. Khairuddin, S.Ag,. MA)
Bagikan:

Tinggalkan Komentar

error: Jangan Suka Copy Punya Orang, Jadilah Manusia Yang Kreatif!!