KBBAceh.News | Banda Aceh – Pagi itu, Minggu, 26 Oktober 2025, Banda Aceh diguyur gerimis lembut. Saya dan istri berjalan menyusuri pasar, tempat kehidupan kecil berdenyut begitu nyata. Dari depan rumah hingga ke pasar, kami menyaksikan potongan demi potongan kehidupan yang bergerak: pasangan suami istri berboncengan, anak-anak yang tertawa di becak barang, pedagang yang bersahutan menawarkan dagangan. Semuanya berjalan dengan kesadaran, seolah masing-masing tahu perannya dalam drama besar kehidupan.
Di tengah hiruk pikuk pasar, saya berucap pada istri, “Lihatlah, apa yang dilakukan oleh laki-laki, ternyata bisa juga dilakukan oleh banyak perempuan.”
Ia menatap, lalu tersenyum kecil. Dan benar saja, di antara deretan kios dan lapak, terlihat perempuan-perempuan tangguh: ada yang menimbang ikan, mengangkat karung sayur, menyiapkan bumbu, bahkan mengatur tawar-menawar dengan cekatan.
Laki-laki dan perempuan, tampak sama sibuknya, sama kerasnya berjuang. Semua untuk satu hal: keluarga.
Namun yang sering terjadi, masyarakat masih memelihara pandangan yang timpang. Seolah pekerjaan seorang ibu di pasar hanyalah “membantu”, sementara kerja seorang ayah dianggap “menanggung”. Padahal keduanya sama-sama menanggung beban dan harapan. Hanya bentuknya yang berbeda.
Kesadaran seperti ini seharusnya menumbuhkan rasa hormat, bukan rasa lebih. Laki-laki tidak lebih mulia hanya karena ia bekerja di luar rumah. Perempuan tidak lebih rendah hanya karena ia mengasuh anak atau menjual sayur di pasar. Setiap peran punya nilai, selama ia dilakukan dengan niat yang lurus dan tanggung jawab yang tulus.
Dalam kehidupan, laki-laki dan perempuan bagaikan dua sayap seekor burung. Tak mungkin burung itu terbang jika salah satu sayapnya patah. Begitu pula keluarga: tidak akan kokoh bila hanya satu pihak yang berjuang. Ada keseimbangan yang harus dijaga—antara memberi dan menerima, antara bekerja dan mendoakan, antara mencari nafkah dan menciptakan kedamaian.
Kesadaran diri semacam ini bukan sekadar pengetahuan, melainkan sikap hidup. Ia tumbuh ketika seseorang berhenti menilai siapa lebih tinggi, siapa lebih kuat, dan mulai melihat bahwa setiap langkah—sekecil apapun—punya makna. Bahwa gerimis pagi di pasar bukan sekadar cuaca, tapi cermin kehidupan yang menunjukkan bahwa cinta dan tanggung jawab dapat hadir dalam banyak rupa.
Mungkin, jika kita lebih sering melihat dunia dengan mata hati, kita akan menyadari satu hal sederhana yaitu semua yang kita lakukan, entah di dapur atau di kantor, di becak atau di meja rapat, sejatinya adalah bentuk kasih untuk orang-orang yang kita cintai. Dan di situlah, harga diri manusia sesungguhnya ditemukan. (By Dr. Khairuddin, S.Ag,. MA)